G.I.S November: Ketika Selebriti Menjadi Wakil Rakyat: Akankah Popularitas Meredupkan Esensi Integritas?

Dinamika politik pada era modern di Indonesia semakin menarik dengan banyaknya fenomena selebriti terkenal yang beralih ke dalam dunia politik. Selebriti tersebut memanfaatkan popularitasnya untuk dapat mempengaruhi dan menarik pemilih dalam pemilu. Popularitas tersebut menjadi kelebihannya dan modal yang penting dalam dunia politik di era modern ini, dimana informasi dapat tersebar secara luas melalui media sosial, kemudahan penyebaran informasi melalui media sosial tersebut dimanfaatkan partai-partai politik di Indonesia sebagai media kampanye. Fenomena politik ini menjadi perhatian di kalangan masyarakat Indonesia pada tahun 2024, pasalnya banyak selebriti yang terjun langsung ikut berkompetisi sebagai kandidat baik pada level eksekutif maupun legislatif. Namun juga terdapat selebriti yang terjun dalam dunia politik sebagai pendulang suara melalui penyebaran informasi kampanye salah satu calon. Fenomena ini disebut sebagai Fenomena Politainment. 

Politainment mengacu pada perpaduan politik dan hiburan dalam komunikasi politik (Nieland, 2008). Seperti halnya infotainment, yang digunakan sebagai label program televisi tertentu, istilah politainment menunjukkan pelibatan aktor politik, topik, dan proses dengan format budaya hiburan (Heryanto dalam Pratiwi, 2020). Para selebriti dalam kesehariannya berkiprah di dunia hiburan, sehingga hal tersebut memiliki potensi yang dapat merubah citra politik yang serba serius menjadi santai dan menghibur layaknya panggung hiburan. Proses peralihan selebriti dari dunia hiburan ke dalam dunia politik memerlukan adaptasi terhadap tuntutan-tuntutan politik. Para selebriti perlu menyesuaikan diri dalam berbagai hal seperti memperluas pengetahuan tentang masalah-masalah politik dan belajar keterampilan yang dapat mendukung dalam dunia politik. Perubahan dari dunia hiburan ke politik bukanlah proses yang mudah, dan selebriti yang memutuskan untuk melakukannya seringkali   dihadapkan pada tantangan yang memerlukan adaptasi dan upaya ekstra (Yulanda et al, 2023). 

Banyaknya popularitas yang dibawa para selebriti dari dunia hiburan ke dalam dunia politik yang dapat mempengaruhi tingkat dukungan dan pilihan pemilih di kalangan pengguna media sosial, sering kali menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan dan pengetahuan, serta integritas mereka sebagai pemimpin. Integritas sebagai pemimpin merupakan hal yang penting, karena transparansi, etika, dan tanggung jawab para selebriti menjadi aspek penting dalam menjalankan jabatan politik (Maghfurin, 2020). Dalam hal ini perlunya masyarakat untuk dapat mendalami dan mempertimbangkan track record para selebritis yang beralih profesi ke dalam dunia politik. Memang tidak ada aturan yang melarang untuk selebriti mencalonkan diri menjadi bagian dari badan legislatif maupun eksekutif negara, namun perlunya pertimbangan tingkat kapabilitas politik yang mereka miliki. Masyarakat yang cerdas perlu memiliki kemampuan analisis untuk membedakan mana politisi yang bakal memperjuangkan aspirasi masyarakat, dan mana yang hanya beretorika, apakah yang mereka janjikan saat berkampanye sesuai atau tidak dengan tindakannya (Pawito, 2009).

Berdasarkan hasil pemilu tahun 2024, Komisi Pemilihan Umum yang telah menyelesaikan rekapitulasi suara nasional dan dikutip dalam lama berita CNBC menunjukan bahwa terdapat 24 caleg artis yang berhasil mendapatkan kursi DPR RI seperti Uya Kuya dari Partai PAN, Denny Cagur dari Partai PDIP, Verrel Bramasta dari Partai PAN, dan Alfiansyah alias Komeng yang berhasil mendapatkan kursi DPD, serta masih banyak lagi. Pada tahun ini yang menarik perhatian yaitu pencalonan Komeng, seorang komedian yang memperoleh suara signifikan dan lolos di DPD RI mewakili Jawa Barat. Komeng menggunakan strategi yang menarik dengan menggunakan foto yang nyeleneh di surat suara, sehingga menjadi perhatian bagi masyarakat yang akan mencoblos. Hal tersebut menunjukan bahwa popularitasnya seorang selebriti sangat mempengaruhi pilihan pemilih dan foto kontroversial tersebut memperkuat citranya. Berdasarkan hasil penelitian Oktaria & Lexianingrum (2024) diketahui bahwa dalam politik kontemporer, fenomena selebriti yang beralih menjadi politikus memiliki komplikasi yang kompleks. Popularitas yang dimiliki para selebriti sangat mempengaruhi partisipasi dan perhatian publik, serta meningkatkan visibilitas dalam strategi kampanye nya, hal tersebut terkadang dapat mengalihkan perhatian dari isu politik substantif dan kapabilitas dalam dunia politik. Berdasarkan hasil penelitian lain yang dilakukan Mustika & Arifianto (2018) menunjukan masuknya profesi selebritis ke dunia politik karena didorong oleh popularitasnya sebagai public figure, bukan sebagai profesionalis politik yang seharusnya sebagai persyaratan utama yang harus mereka miliki ketika masuk ke dunia politik. Secara substansial alasan profesi selebritis masuk ke dunia politik masih belum terungkap secara jelas, apakah berlatar belakang ekonomi, kekuasaan, atau hanya untuk mendukung profesinya di infotainment.

Dalam demokrasi Indonesia, tren selebriti yang beralih menjadi politikus menimbulkan berbagai masalah yang cukup kompleks. Menurut Oktaria dan Lexianingrum (2024), peralihan dari dunia hiburan ke politik tidaklah mudah karena meskipun seseorang populer, hal itu tidak menjamin mereka memiliki kemampuan politik yang mumpuni. Subandi dan Ubaid (2020) menekankan bahwa masalah utama dalam fenomena ini adalah kurangnya pemahaman para selebriti tentang sistem dan mekanisme politik yang ada. Hal ini bisa mengakibatkan representasi yang keliru terhadap demokrasi, di mana kebijakan lebih sering menjadi ajang pertunjukan daripada memecahkan masalah rakyat. Ni’mah (2015) menggarisbawahi konsep “front personal“, di mana selebriti sering digunakan sebagai alat dalam proses politik. Strategi yang sering mereka gunakan melibatkan basis penggemar, media sosial, dan penciptaan cerita pribadi untuk meningkatkan elektabilitas. Meski efektif dalam menarik perhatian, strategi ini dapat mengorbankan prinsip demokrasi representatif, di mana kualitas dan kemampuan legislator menjadi kurang diprioritaskan dibanding popularitas.

Kehadiran selebriti dalam politik menciptakan tantangan tersendiri dalam kualitas representasi politik. Menurut Khamimiya et al. (2023), selebriti yang terjun ke politik tidak hanya mendukung partai politik, tetapi juga menggunakan berbagai strategi untuk membangun citra dan meraih suara. Hal ini berdampak pada cara kerja sistem demokrasi, di mana perhatian lebih banyak diberikan pada popularitas daripada substansi kebijakan. Alatas (2014) mengungkapkan bahwa perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media sosial, telah mengubah politik menjadi ajang spektakel. Di sini, kekayaan simbolik dan popularitas selebriti sering kali menggeser substansi kebijakan yang sebenarnya. Akibatnya, kualitas representasi politik dinilai bukan lagi dari kecerdasan atau kemampuan legislasi, melainkan dari seberapa menarik seseorang di mata publik.

Dampak dari fenomena ini terlihat jelas dalam kualitas demokrasi. Isu-isu publik sering disederhanakan oleh selebriti menjadi cerita konsumtif yang mudah dicerna, namun minim substansi. Modal simbolik atau popularitas mereka lebih sering digunakan untuk menarik perhatian dibanding memperjuangkan kepentingan rakyat Khamimiya et al. (2023). Media digital telah mengubah politik menjadi ruang untuk menampilkan diri secara pribadi. Selebriti yang terjun ke politik cenderung mengutamakan performativitas atau penampilan daripada kualitas kebijakan yang ditawarkan, yang dapat mengurangi efektivitas mekanisme checks and balances dalam sistem demokrasi. Secara keseluruhan, keterlibatan selebriti dalam politik menciptakan perubahan besar dalam struktur demokrasi modern. Batas antara politik dan hiburan menjadi semakin tipis, di mana popularitas menjadi lebih penting dibandingkan kemampuan teknis dalam pembuatan kebijakan. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran besar dalam demokrasi Indonesia, yang semakin bergeser dari substansi menuju popularitas sebagai tolak ukur keberhasilan seorang politikus.

Fenomena selebriti yang beralih menjadi politikus di Indonesia, atau yang dikenal sebagai politainment, menunjukkan bagaimana popularitas menjadi modal utama dalam menarik perhatian publik. Meski memberikan keuntungan elektoral, banyak selebriti yang belum memiliki kapabilitas politik dan pemahaman legislatif yang memadai, sehingga memunculkan kekhawatiran akan kualitas kebijakan yang dihasilkan. Dominasi citra dan performativitas sering kali menggeser fokus dari isu-isu politik substantif, mengubah politik menjadi ajang pencitraan semata dan meredupkan esensi integritas. Pergeseran ini menandakan tantangan bagi kualitas demokrasi, di mana popularitas lebih diutamakan daripada kemampuan teknis dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam memilih wakil rakyat dengan mempertimbangkan rekam jejak dan integritas mereka, bukan hanya sekadar popularitas, untuk menjaga kualitas representasi politik yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat dan solusi nyata.

Daftar Pustaka

Pawito. (2009). Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra

Pratiwi, E., & Ambardi, K. (2020). Performa Jurnalisme Online dan Kecenderungan Politainment dalam Berita Pilpres 2019. Jurnal Studi Jurnalistik, 2(1), 25-44.

Yulanda, A., Fitrisia,  A., & Ofianto, O. (2023). Fenomena Rekrutmen Artis Sebagai Calon Legislatif Ditinjau dari Perspektif Aksiologi.Titian: Jurnal Ilmu Humaniora, 7(1), 141-154.

Maghfurin, A. (2020). Personal Brand Krisdayanti Ditinjau Dari Perilaku Pemilih Masyarakat Malang Raya Pada Pemilu Legislatif 2019 (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga)

Mustika, R., & Arifianto, S. (2018). Komodifikasi “Popularitas Selebritis” untuk Mendulang Suara Pemilu Legislatif 2019. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 22(2), 139-150.

Oktaria, W., & Lexianingrum, S. R. P. (2024). Fenomena Selebriti Menjadi Politikus Serta Strategi Komunikasi Selebriti Dalam Berkampanye. IJM: Indonesian Journal of Multidisciplinary, 2(4), 165-175.

Ni'mah, M. (2015). Transformasi Selebriti Menjadi Politisi: Urgensi Personal Front Dalam Ranah Sosial. Informasi, 45(2), 141-154.

Subandi, H. H., & Ubaid, A. H. (2020). Selebritis menjadi politisi: Studi tentang bagaimana selebritis menang atau kalah dalam pemilu legislatif. JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(1), 21-45.

Khamimiya, A. R., Fauzi, A. M., & Affandi, M. A. (2023). Keterlibatan Selebriti Sebagai Politisi: Penguatan Partai Politik Atau Penggalangan Suara. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JISIP), 12(2), 158-175.

Alatas, S. (2014). Media Baru, Partisipasi Politik, dan Kualitas Demokrasi. Program Studi Digital Communication Surya University. Makalah. Dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Komunikasi.

Leave a comment

Your email address will not be published.